Monday, January 24, 2011

ACTIO POPULARIS

Hukum acara perdata atau hukum perdata formal adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan hukum perdata materiil atau bagaimana caranya melaksanakan tuntutan hak. Hukum atau peraturan yang mengatur cara melaksanakan tuntutan hak merupakan “aturan permainan” (spelregels) dalam melaksanakan tuntutan hak itu. Sebagai aturan permainan dalam melaksanakan tuntutan hak maka hukum acara perdata mempunyai fungsi yang penting, sehingga harus bersifat strict, fixed, correct, pasti, tidak boleh disimpangi, dan harus bersifat imperatif (memaksa). Hakim harus tunduk serta terikat padanya dan tidak boleh bebas menafsirkannya, jangankan menggunakan atau mengadopsi lembaga hukum acara dari luar. Setiap orang tidak bebas mengajukan gugatan dengan cara yang dikehendakinya. Hakimlah yang berkuasa dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara dengan tunduk pada peraturan hukum acara yang ada dan tidak menuruti justiciabelen (pencari keadilan/penggugat) yang memilih sendiri caranya berperkara yang tidak/belum ada dasar hukumnya­. Oleh karena itu hakim tidak boleh mengadopsi lembaga hukum acara asing (kecuali sudah diatur dalam undang-undang), kecuali itu hakim dilarang menciptakan peraturan yang mengikat secara umum (pasal 21 AB). Janganlah hakim di-fait accompli atau dipaksa untuk menerima atau menggunakan lembaga hukum acara perdata yang tidak diatur dalam hukum positif kita (tidak diatur dalam undang-undang). Hukum acara perdata mengatur hak dan kewajiban beracara yang bersifat prosedural (hak untuk naik banding, kewajiban untuk mengajukan saksi) dan bukan bersifat substansial seperti pada hukum perdata matenil (hak milik, kewajiban untuk melunasi hutang).­ Kalau dalam pasal 28 Undang-undang no.4 tahun 2004 mengatakan bahwa hakim wajib menggali hukumnya di dalam masyarakat, maka yang dimaksudkan adalah hukum materiilnya (hukum yang mengatur hak dan kewajiban substansial), bukan hukum formil (hukum yang mengatur hak dan kewajiban formil). ltupun, dalam menggali hukumnya, dalam menemukan hukumnya, tidak asal mengadakan “terobosan”, tetapi ada metode atau aturan permainannya. Asas dasar utama yang penting dalam hukum acara perdata kita adalah asas point d’interet point d’action (Mertokusumo, 53: 2006), yang berarti bahwa barangsiapa mempunyai kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak atau gugatan. Kepentingan disini bukan asal setiap kepentingan, tetapi kepentingan hukum secara langsung, yaitu kepentingan yang dilandasi dengan adanya hubungan hukum antara penggugat dan tergugat dan hubungan hukum itu langsung dialami sendiri secara konkrit oleh penggugat. Kalau semata-mata hanya “asal kepentingan” saja, maka dapat terjadi seorang isteri (C, pihak ketiga) dari kreditur A (pihak kesatu) yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan seorang debitur B (pihak kedua), yang mempunyai hutang kepada kreditur A (pihak kesatu) tetapi tidak melunasi hutangnya, dapat menggugat debitur B tanpa adanya kepentingan secara langsung, tanpa ada surat kuasa. Kepentingan hukum secara langsung, hubungan sebab akibat, harus dialaminya sendiri. Kalau dimungkinkan setiap orang boleh menggugat tanpa syarat adanya “kepentingan hukum yang langsung”, maka dapat dipastikan pengadilan akan kebanjiran gugatan-gugatan. Asas penting lainnya dalam hukum acara perdata adalah asas actori incumbit probatio yang berarti barangsiapa mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu peristiwa harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (pasal 163 HIR). Penggugat harus membuktikan adanya hubungan antara dirinya dengan hak atau kepentingan. Di dalam praktek dikenal suatu cara mengajukan gugatan perdata yang disebut gugatan perwakilan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dalam satu perkara yang dilakukan oleh salah seorang anggota atau lebih dari kelompok tersebut tanpa menyebut anggota kelompok satu demi satu. Gugatan semacam ini dikenal dengan acara gugat class action yang diadopsi dari sistern Anglosaks (Mertokusumo, 2006:71) dan diatur dalam UU No. 23 Tahun ahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dari sekian banyak perkara gugatan class action, sebagian besar tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard) oleh pengadilan dan patut patut dipertanyakan: Mengapa sebagian besar gugatan class action tidak diterima oleh pengadilan? Diktum “tidak dapat diterima”, termasuk hukum acara perdata yang berarti bahwa putusan itu belum menyentuh pokok perkara, baru menyentuh formalitas. Berarti bahwa syarat formal pengajuannya tidak dipenuhi. Akhir-akhir ini mulai marak diajukan tuntutan perdata yang dikenal dengan actio popularis atau citizen lawsuit. Menurut Sjahdeini yang dimaksud dengan actio popularis adalah prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepentingan umum secara perwakilan. Gugatan dapat ditempuh dengan acuan bahwa setiap warga negara tanpa kecuali mempunyai hak membela kepentingan umum (Sjahdeini, Suara Pembaharuan 8/9/2005). Dengan demikian setiap anggota warga negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat Negara atau pemerintah atau siapa saja yang yang melakukan perbuatan melawan hukum, yang nyata-nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat luas. Dalam actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi warga negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara Iangsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya. Suatu contoh gugatan actio popularis adalah kasus demam berdarah, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 251/Pdt/G/t998 PN. Jkt. Pst, hakim dalam putusannya berpendapat bahwa actio popularis harus diatur dalam undang-undang (Komisi Hukum Nasional, Menggagas bentuk gugatan “actio polularis”), sedangkan perkara divestasi PT Indosat baik dalam putusan tingkat pertama maupun dalam putusan banding dinyatakan tidak sah (Suara Pembaharuan, Nasib gugatan “actio popularis” privatisasi Indosat). Dapat diinformasikan bahwa action popularis di Negen Belanda sejak I Juli 2005 telah dihapus (Stichting Greenpeace Nederland). Dari apa yang diuraikan diatas dapatlah disimpulkan seperti berikut: (i) Peraturan hukum acara perdata bersifat imperatif, yang berarti bersifat memaksa, tidak dapat disimpangi dan hakim harus tunduk; (ii) Hakim tidak dapat menciptakan peraturan yang mengikat setiap orang secara umum; (iii) Lembaga hukum acara perdata asing sepanjang belum ada landasan undang-undangnya, demi kepastian hukum, tidak dapat diterapkan. Kebebasan hakim tidaklah mutlak, tetapi dibatasi oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan; (iv) Penemuan hukum yang sering dikatakan sebagai ‘penerobosan’ tidak dapat asal saja dilakukan (menerobos), tetapi ada metode atau aturan permainannya. Kita harus tetap ta’at asas.

Sunday, January 23, 2011

Konsep Citizen Lawsuit di Indonesia

Citizen Lawsuit atau Gugatan Warga Negara terhadap penyelenggara Negara sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum Civil Law sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Citizen lawsuit sendiri lahir di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, dan dalam sejarahnya Citizen Lawsuit pertama kali diajukan terhadap permasalahan lingkungan. Namun pada perkembangannya, Citizen Lawsuit tidak lagi hanya diajukan dalam perkara lingkungan hidup, tetapi pada semua bidang dimana negara dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Beberapa Kasus Citizen Lawsuit yang cukup dikenal adalah sebagai berikut:

1. Di Amerika Serikat

Gugatan seorang Warga Negara Amerika atas kelalaian Pemerintah dalam melakukan pelestarian terhadap Spesies kelelawar langka di Amerika. Gugatan tersebut dikabulkan dan hasilnya adalah pemerintah Amerika mengeluarkan Act tentang Konservasi kelelawar langka tersebut.

2. Di India

Gugatan seorang Warga Negara India atas kelalaian Pemerintah India dalam melestarikan sungai gangga yang merupakan sungai suci bagi umat hindu. Hasilnya adalah Larangan pemerintah India kepada pabrik-pabrik di sekitar sungai Gangga melakukan pencemaran terhadap sungai.

GAGASAN POKOK CITIZEN LAWSUIT

Citizen Lawsuit pada intinya adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga CLS diajukan pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara Perdata. Oleh karena itu Atas kelalaiannya, dalam petitum gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Karakteristik dari Gugatan Citizen Lawsuit

Berdasarkan gagasan pokok tersebut, maka dapat dijabarkan karakteristik dari Gugatan Citizen Lawsuit berdasarkan beberapa perkara CLS yang pernah diajukan di Indonesia, adalah sebagai berikut:

1. Tergugat dalam CLS adalah Penyelenggara Negara, Mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai pimpinan teratas, Menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Dalam hal ini pihak selain penyelenggara negara tidak boleh dimasukkan sebagai pihak baik sebagai Tergugat maupun turut tergugat, karena inilah bedanya antara CLS dengan gugatan warga negara.

Jika ada pihak lain (individu atau badan hukum) yang ditarik sebagai Tergugat/Turut Tergugat maka Gugatan tersebut menjadi bukan Citizen Lawsuit lagi, karena ada unsur warga negara melawan warga negara. Gugatan tersebut menjadi gugatan biasa yang tidak bisa diperiksa dengan mekanisme Citizen Lawsuit.

2. Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan dalam Gugatan adalah kelalaian Penyelenggara Negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara. Dalam hal ini harus diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh negara dan hak warga negara apa yang gagal dipenuhi oleh Negara. Penggugat harus membuktikan bahwa Negara telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum tersebut, sebagaimana gugatan perdata biasa.

3. Penggugat adalah Warga Negara, yang bertindak mengatasnamakan warga negara. Penggugat dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga negara Indonesia. Berbeda dengan class action, Penggugat tidak harus merupakan kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh negara, oleh karena itu Penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiel apa yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan, berbeda dengan gugatan perdata biasa.

Selain itu Penggugat secara keseluruhan adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah-pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagaimana dalam Gugatan Class Action.

4. Gugatan Citizen Lawsuit tidak memerlukan adanya suatu notifikasi Option Out setelah gugatan didaftarkan sebagaimana diatur dalam PERMA tentang Class Action. Dalam prakteknya di Indonesia yg didasarkan pada pengaturan di beberapa negara common law, Citizen Lawsuit cukup hanya dengan memberikan notifikasi berupa somasi kepada penyelenggara Negara.

Isi somasi adalah bahwa akan diajukan suatu Gugatan Citizen Lawsuit terhadap penyelenggara Negara atas kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak Warga Negaranya dan memberikan kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan jika tidak ingin gugatan diajukan. Pada prakteknya somasi ini harus diajukan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum gugatan didaftarkan, namun karena belum ada satupun peraturan formal yang mengatur hal tersebut, maka ketentuan ini tidak berlaku mengikat.

5. Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi materiel, karena kelompok warga negara yang menggugat bukan kelompok yang dirugikan secara materiel dan memiliki kesamaan kerugian dan kesamaan fakta hukum sebagaimana gugatan Class Action.

6. Petitum gugatan Citizen Lawsuit harus berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (Regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga negara tersebut di masa yang akan datang tidak terjadi lagi.

7. Petitum Gugatan Citizen Lawsuit tidak boleh berisi pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit individual dan final karena hal tersebut merupakan kewenangan dari peradilan TUN.

8. Petitum Gugatan Citizen Lawsuit juga tidak boleh memohon pembatalan atas suatu Undang-undang (UU) karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu Citizen Lawsuit juga tidak boleh meminta pembatalan atas Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang (UU) karena hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana kini telah diatur dalam PERMA tentang Judicial Review peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Beberapa kasus gugatan Citizen Law Suit yg pernah didaftarkan di Indonesia:

1.Gugatan CLS atas nama Munir Cs atas Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yg dideportasi di Nunukan. à Dikabulkan Majelis Hakim Jakarta Pusat dengan Ketua Majelis Andi Samsan Nganro. Hasilnya adalah UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Ini merupakan Gugatan CLS pertama yang muncul di Indonesia.
2.Gugatan CLS atas kenaikan BBM oleh LBH APIK à Ditolak, bentuk CLS tidak diterima Majelis Hakim PN Jakpus.
3.Gugatan CLS atas Operasi Yustisi oleh LBH Jakarta à Ditolak, bentuk CLS tidak diterima Majelis Hakim PN Jakarta Pusat.
4.Gugatan CLS atas penyelenggaraan Ujian Nasional oleh LBH Jakarta à Dikabulkan untuk sebagian, Pemerintah diminta meninjau ulang kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional. Pemerintah saat ini mengajukan banding.

Dari beberapa perkara di atas dapat dilihat bahwa di antara Hakim masih belum ada kesesuaian pendapat mengenai bentuk gugatan Citizen Lawsuit. Beberapa Hakim yang cukup moderate sudah dapat menerima kehadiran bentuk gugatan Citizen Lawsuit ini, namun beberapa Hakim masih tidak menerima bentuk CLS ini karena hingga saat ini memang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, lain halnya dengan Bentuk Gugatan Class Action yang telah di akomodir dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).

Namun tidak dipungkiri bahwa dua kasus Citizen Lawsuit yang diterima dan dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta pusat merupakan suatu pertanda bahwa Gugatan Citizen Lawsuit saat ini telah hadir dan mewarnai sistem peradilan Indonesia.

Friday, November 6, 2009

U.S.U Untuk Korban Gempa

Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Syamsul Arifin didampingi Rektor U.S.U. Prof Chairuddin P. Lubis melepas keberangkatan rombongan tim medis Universitas Sumatera Utara (U.S.U.) untuk korban gempa Sumatera Barat (Sumbar) di halaman Biro Rektor Kampus Padang Bulan, Jumat (2/10).

Tim bantuan medis U.S.U. yang dilepas merupakan rombongan tahap ketiga setelah sebelumnya USU telah memberangkatkan 2 tim lain. Dalam sambutan singkatnya Gubsu menyatakan rasa bangga atas kepedulian U.S.U. untuk menolong korban bencana alam. “Saya bangga atas perhatian USU yang sudah 3 kali mengirimkan bantuan untuk korban gempa Padang. Ini akan mengubah citra Sumut,” tambahnya. Di sisi lain, ia juga mengingatkan agar para relawan yang tergabung dalam tim tidak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah daerah setempat. Dengan sudah dibekali tempat tidur dan makanan, tim relawan medis U.S.U. harus bekerja maksimal menolong korban bencana.

Gubsu juga menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut akan terus melakukan rapat koordinasi untuk membuka posko bantuan bagi korban gempa Sumbar. Pihaknya juga akan melaporkan langkah-langkah ini kepada Presiden.

Sumber: Website U.S.U.